Header Ads

Mengenang Yun Casalona, Sang Penakluk Kursani

PENGANTAR -- Yun Casalona berpulang pada Selasa (26/8/2014) siang di rumahnya di kawasan Peukan Bada, Aceh Besar. (Baca: Pedebus Yun Casalona Berpulang) Ia dikenal sebagai pekerja teater dan pemain debus handal di Aceh. Mengenang tokoh seni Aceh itu, acehkita.co menurunkan kembali tulisan yang ditulis secara apik oleh Maimun Saleh di Majalah ACEHKINI edisi 2, 2007 lalu. Selamat membaca!
REPRO ACEHKINI



LAKI-LAKI berlilit sal itu tercenung. Tak biasa, Afifah menyergapnya saat bermenung. “Selamat ulang tahun ayah!” ujar bocah tujuh tahun itu. “Cepat sembuh ya, biar bisa kerja lagi.”

“Ini untuk ayah!” murid kelas tiga sekolah dasar itu menjulurkan bungkusan mungil berbalut poster. Isi bungkusan itu, hanya kue bawang dan kacang. Namun, nyaris tak ada kata yang meluncur dari mulut sang ayah. Ia hanya mendekap erat buah hatinya.

Kulit kado bergambar pria mengenakan mantel, bertopi koboi menjunjung samurai menghadap pinto khop itu membuatnya tersanjung. Itu poster iklan VCD Seuni Daboh (debus-red) yang Ia mainkan. “Itu cara saya agar generasi muda Aceh tidak lupa seni daboh,” kata Yun Casalona, sambil merapatkan kembali jaketnya.

Perayaan ulang tahun ala Afifah dilanjutkan dengan menyanyi. Walau tak ada lilin dan kue tar, anak semata wayangnya itu melantunkan lagu selamat ulang tahun dengan riang. Sayangnya, kegembiraan tak berlangsung lama, dering handphone membuyarkan pesta ulang tahun.

“Telepon dari kantor disuruh ke kantor ambil surat PHK,” kata seniman debus papan atas Aceh itu. “Lebih enam bulan sudah saya tak aktif, kantor tak bisa terima itu.”

Sejak tubuhnya digempur infeksi paru, pembengkakang tulang belakang, diabetes, kornea bola mata sampai asam lambung memang Yun Casalona tak lagi bekerja dan berkesenian. Hari-harinya, lebih banyak dipakai bermenung di beranda rumah, Blower-Banda Aceh.

***

DARAHKU batu
uratku kawat
tulangku besi
kulitku baja

Itu bukan penggalan puisi biasa. Empunya melafalkan saban samurai, gergaji atau kapak akan menyayat tubuhnya. Dalam batin, puisi itu menyusul ayat kursi. Jauh sebelum drum, gitar elektrik dan rapai bersahut-sahut mengiringi tubuh yang diiris dan tebas senjata tajam.

Tapi Mei itu tak lazim. Ia telah melafalkan ragam ayat suci dengan sempurna. Tak ada sebilah senjatapun melukai. Namun, laki-laki berbadan tegap itu tak menunjukkan atraksi kapak membelah dirinya pada penonton yang memadati lapangan Karang Rejo, Bireuen.

“Tubuh saya tak tahan lagi, saat turun pentas saya jatuh di tangga,” kata Yun Casalona, pemilik puisi hue itu. “Saya memang mulai sakit sejak sebulan sebelumnya.”

Lepas itu, Ia tidak memilih rehat panjang. Pria asal Meulaboh, Aceh Barat, itu malah kembali ke panggung. Di Desa Arafah, Banda Aceh, Yun kembali menunjukkan atraksi debus. “Terlanjur teken kontrak,” tukasnya.

Ia tidak menyangka pementasan akhir dalam Konser Damai Aceh itu menjelma menjadi petaka. Segala jenis penyakit yang mendekam dalam tubuhnya mendadak kambuh.

“Seminggu saya berobat di rumah, sembilan malam menginap di Rumah Sakit Harapan Bunda-Banda Aceh,” jelas Yun.

Di rumah sakit, Ia mengira hanya kurang darah. Tapi dokter merasa panas-dingin yang mendera tidak biasa. Salah seorang dokter malah memperkirakan pria kelahiran 3 Agustus-43 tahun silam itu terjangkit virus paling popular abad ini. “Di rumah sakit, dokter perkirakan saya kena flu burung,” jelasnya sambil mencoba terbahak.

Sakit yang mendera tak membaik. Gelumbung di tulang belakang yang awalnya dikira bisul kian membesar. Sampai akhirnya, pemain debus rock yang juga penyair ini terpaksa tidur telungkup.

“Saya sudah pasrah. Sudah sering menggigau. Saya berkata pada istri, itu ada sedikit simpanan pakailah untuk biaya hidup dan sekolah anak,” Yun mengenang.

Tapi istrinya tak pasrah. Ia kabarkan Yun sakit ke handai taulan dan kerabat. Sampai bulatlah tekad keluarga menerbangkan pemimpin Teater Kuala itu ke Penang, Malaysia.

Selama 40 hari berobat di Lamwah-e Hospital, Penang, sejawat seniman tak berhenti menjulur simpati. Bahkan Rafly, penyanyi Aceh paling kesohor saat ini, mengelar konser amal untuk menggalang dana. Yun sendiri tahu itu dari tetangganya.

“Lebih 70 persen biaya berobat itu uang dikumpulkan dari teman-teman seniman,” jelas Yun.

***

“ANDAI saya menjadi robot
tidak perlu makan”

Di bawah bulat bulan saat gerhana hendak membalut langit beberapa waktu lalu, Yun sadar Ia tidak menulis puisi di masa rehatnya kini. “Mustinya saya tulis puisi robot itu ya?” Yun kembali mencoba terbahak.

Yun mengaku, juga tidak menggarap naskah drama saat ini. Tapi Yun, masih menyelipkan dua pisau silet dalam dompetnya. Mendadak Ia keluarkan. Lalu dipraktikkannya atraksi debus.

Bagi Yun, puisi dan teater bagian dari hidupnya. Tapi, seni debus labuhan hatinya. “Seperti istri dan anak, sama-sama saya cinta,” katanya. Pemain debus sangat sedikit, berbeda dengan pegiat puisi dan teater. Itulah alasannya, kenapa Yun memilih debus sebagai kesenian utama yang digeluti.

Selain itu, seni debus membuatnya semakin dekat dengan Sang Khalik. Menurutnya, pemain debus harus dekat dengan Allah. Jadi bukan rapai yang melindungi tubuh dari senjata tajam.

“Tabuhan rapai hanya penggiring, yang melindungi tubuh ya. Allah,” jelas Yun. Yakin itu, Ia pun mempopulerkan debus dengan musik rock. Ia menampik, debus harus identik dengan rapai.

Menurut Yun, melestarikan debus tidaklah mudah. Tidak semudah menjaring penyair dan pemain teater yang bisa direkrut dan berlatih terbuka. “Ada proses transfer keyakinan dari hati ke hati. Saya tidak tahu katakannya seperti apa,” jelas Yun.

Diam-diam Ia kini sedang mencari murid pewaris keahliannya. Pasalnya, kecemasan akan punahnya seni daboh di Aceh terus menggelayut di pikiran. Betapa tidak, amuk tsunami telah merenggut beberapa seniman debus lainnya. “Ini seni warisan nenek moyang kita. Tidak boleh punah!” tegasnya.

Sudah tiga anak muda yang menjadi kandidat, salah seorang di antaranya perempuan. Mereka lolos karena dianggap dekat dengan Allah dan tidak jumawa.

“Kemungkinan penerusnya perempuan. Tahu kenapa? Karena aura perempuan memainkan debus lebih memikat,” jelas Yun. Ia melilit sal, merapatkan jaketnya dan melempar pandang pada malam sendu, ”saya ingin daboh tetap hidup!” | MAIMUN SALEH (MAJALAH ACEHKINI)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.